Rendahnya Kualitas Pelayanan Pendidikan Diniyah di Bojonegoro

- Tim

Senin, 6 Agustus 2018 - 10:39

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ditulis oleh : Edy Kuntjoro.

Sering kita mendengar orang mengucapkan kata Madrasah Diniyah dan di tahun 2010 hingga sekarang sering pula kita mendengar istilah pendidikan “Karakter”.

Pendidikan formal, SD, SMP, SMA/ SMK, yang dihadirkan oleh pemerintah sebagai layanan pemenuhan kebutuhan pendidikan masyarakat yang berfokus pada pendidikan ilmu pengetahuan sosial, dan pengetahuan eksakta dirasa belum mampu mencetak kader bangsa yang berkarakter.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Karena itulah, kehadiran madrasah diniyah sebagai pelengkap pendidikan formal diharapkan mampu membina watak dan karakter bangsa yang akhlaqul kharimah.

Inilah sebenarnya yang dikehendaki oleh pemerintahan Presiden Joko Widido dalam melakukan revolusi mental melalui pendidikan anak-anak di sekolah. Untuk menjawab dekadensi moral masyarakat akibat gebrakan-gebrakan budaya asing yang meracuni perilaku dan watak bangsa.

Pendidikan diniyah diharapkan bukan sekedar mampu menjadi tameng moral tetapi lebih dari itu, pendidikan diniyah diharapkan mampu mencetak masyarakat yang lebih religius, toleransi dan bertanggungjawab terhadap kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara.

Madrasah Diniyah sebenarnya sudah dikenal sejak jaman dahulu, namun format pengajarannya masih bersifat tradisional atau salafiyah. Pada tahun 2007-an pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Agama nomor 13 tahun 2014 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional yang tertuang Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional.

Selanjutnya untuk memberikan pelayanan pendidikan diniyah di masyarakat Kementerian Agama RI melalui Dirjen Pendidikan mengeluarkan regulasi ketentuan Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Diniyah, dengan SK Dirjen Pendis Nomor: 3201 tahun 2013. Yang kemudian oleh Kementerian Agama pelayanan pendidikan diniyah di masyarakat ditentukan dengan sistem takmilyah.

Penetapan Madrasah Diniyah Takmiliyah sebagai sistem pendidikan keagamaan Islam didasarkan pada kurikulum dan capaian kinerja lembaga pendidikan madrasah diniyah sebagai lembaga pendidikan non formal yang diselenggarakan oleh masyarakat.

Baca Juga :  Pesta Di Tengah Bancana "Tante Mer"

Kementerian Agama pun pada saat itu pula mulai aktif melakukan pendataan dengan menerapkan aturan bagi penyelenggara madrasah diniyah di masyarakat harus memiliki piagam pendaftaran di kantor Kementerian Agama di daerah.

Sedang ketentuan lainnya adalah memiliki gedung atau ruang belajar sendiri, memiliki admisnistrasi pendidikan, memiliki rencana pendidikan, mengikuti kurikulum Kementerian Agama dan memiliki standar kelulusan santri.

Selain itu kepala lembaga pendidikan diniyah harus berpendidikan Sarjana Strata 1 (S1) jurusan Pendidikan Diniyah, atau setidaknya lulusan Pondok Pesantren. Begitupun halnya dengan guru atau ustad/ustadzah yang memberikan pengajaran di madrasah dininyah harus memiliki kapasitas pendidikan sebagai seorang pendidik.

Namun dalam praktiknya Madrasah Diniyah Takmiliyah ini kurang mendapat sambutan dari kalangan pelaku penyelenggara madrasah diniyah, karena sistemnya dianggap terlalu mengikat dengan sistem pendidikan nasional yang ada. Mereka lebih nyaman dan senang menjalankan madrasah diniyah dengan sistem pengajaran pondok pesantren.

Sehingga wajar jika hingga sekarang ini banyak penyelenggara pendidikan madrasah diniyah yang tidak menganut sistem pendidikan diniyah takmiliyah, baik kurikulum maupun standar pelayanan pendidikannya.

Jika ditelisik lebih jauh, hal ini disebabkan karena kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh kantor Kementerian Agama tentang apa dan bagaimana lembaga Madrasah Diniyah Takmiliyah tersebut harus dijalankan. Baik secara administrasi maupun praktik pendidikannya.

Pada tahun 2010 hingga 2012, saya pernah mencoba menelusuri bagaimana pendidikan madrasah diniyah di Bojonegoro itu diselenggarakan. Hasilnya, mengejutkan. Karena lebih 80 persen pelaku penyelenggara madrasah diniyah tidak mengenal standar pelayanan minimal pendidikan diniyah. Mereka juga tidak mengetahui tentang kurikulum yang berlaku di pendidikan diniyah takmilyah. Sungguh memprihatnkan.

Fakta yang saya temui, rata-rata penyelenggaraan pendidikan madrasah diniyah di Bojonegoro masih di bawah standar pelayanan minimal penyelenggaraan madrasah diniyah sebagaimana ditentukan oleh Kementerian Agama RI.

Diantaranya, masih banyak lembaga diniyah belum memiliki gedung atau ruang pembelajaran sendiri, tidak memiliki recana pendidikan, tidak mengikuti kurikulum pendidikan diniyah takmiliyah dan tidak memiliki kelengkapan administrasi penyelenggaraan madrasah diniyah sebagaimana ketentuan. Dan lebih miris lagi adalah terbatasnya jumlah guru atau ustad yang memberikan pengajaran di lembaga tersebut.

Baca Juga :  Membaca Strategi Politik Suyoto Dalam Pilkada Bojonegoro

Jika dilihat dari fakta diatas, maka yang patut dipetanyakan adalah peran kantor Kementerian Agama Bojonegoro, yang selama ini menjadi lembaga yang menanungi dan membina keberadaan madrasah diniyah.

Di Bojonegoro tercatat ada sekitar 1.300 lembaga madrasah diniyah dan hanya beberapa lembaga yang setidaknya dikatagorikan layak sebagai lembaga penyelenggara pendidikan madrasah diniyah. Selebihnya lebih tepat masuk dalam katagori klaster pendidikan TPQ/ TPA (Tempat Pendidikan Al Qur’an).

Melihat fakta diatas, sangatlah perlu adanya peran dan campur tangan pemerintah daerah kabupaten untuk turut serta melakukan pembenahan dan pembinaan kualitas madrasah diniyah di Bojonegoro.

Mengingat keberadaan pendidikan keagamaan Islam yang diselenggarakan di tengah masyarakat ini juga telah menjadi beban anggaran belanja daerah. Seperti pemberian bantuan intensif guru diniyah maupun biaya penyelenggaraan pendidikan diniyah yang termasuk didalamnya terdapat komponen bantuan biaya santri dan honor guru diniyah.

Hal tersebut dimaksudkan agar bantuan yang diberikan oleh pemerintah kepada lembaga madrasah diniyah tidak hanya menjadi ajang bancak’an sejumlah oknum yang terlibat dalam proses pengajuan dan pencairan bantuan. Tanpa dibarengi dengan peningkatan kualitas penyelenggaraan pendidkan diniyah, seperti dimaksudkan dalam dasar dan tujuan pemberian bantuan.

Jujur, jika pemerintah pemberi bantuan melakukan evaluasi atas efek atau dampak pemberian bantuan tersebut terhadap perkembangan kemajuan dan peningkatan kualitas pendidikan diniyah di Bojonegoro, akan mendapatkan kekecewaan yang besar. Karena bantuan keuangan yang telah diberikan tidak memiliki dampak perkembangan signifikan.

Dikarenakan bantuan yang telah diberikan melalui program BPPDGS selama bertahun-tahun ini tidak memberkan dampak signifikan. Kecuali hanya makin bertambahnya jumlah sertifikat atau piagam pendirian lembaga madrasah diniyah yang dikeluarkan oleh kantor Kementerian Agama Bojonegoro.

Selaras dengan janji Kampanye pasangan Bupati dan Wakil Bupati Bojonegoro yang jika terpilih menjadi Bupati dan Wakil Bupati Bojonegoro akan memperhatikan nasib lembaga madrasah diniyah dan membuat Perda wajib diniyah, tentunya hal tersebut patut mendapat dukungan dari segenap masyarakat.

Baca Juga :  PKL Berbasis Proyek Solusi Alternatif Di Masa Pandemi Untuk SMK

Lantaran sudah saatnya setiap daerah Kabupaten yang warganya mayoritas memeluk Agama Islam memiliki Peratutan Daerah Wajib Diniyah, sebagai emplementasi dari amanah Undang-Undang Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, yang mengamanatkan hadirnya penyelenggaraan pendidikan Keagamaan di masyarakat.

Dalam amanah UU Pendidikan Nasional disebutkan bahwa Pendidikan Keagamaan (Islam) diselenggarakan oleh masyarakat dan masuk dalam sistem pendidikan nasional. Dalam hal ini Penddikan Keagamaan Islam ( Pondok Pesantren, Madrasah Diniyah, TPQ/TPA) masuk dalam wilayah Pendidikan Non Formal. Sebgaimana pendidikan Paket A, Paket B, dan Paket C, yang diselenggarakan oleh KBM yang telah mendapat suporting anggaran dari Pemerintah Pusat ( Kementerian Pendidikan).

Sekiranya tidak berlebihan jika penulis mengingatkan kepada pemerintah daerah Kabupaten Bojonegoro untuk mulai menata kembali dari awal tentang tata cata penyelenggaraan pendidikan diniyah di Bojonegoro sebagaimana diatur dalam Standar Pelyanan Minmal Madrasah Diniyah.

Karena bagaimanapun Standar Pelayanan Minimal pendidikan diniyah ini dibutuhkan untuk difungsikan sebagai :
a. Alat untuk menjamin aksesibilitas dan kualitas pelayanan pendidikan yang diterima oleh masyarakat dalam kondisi rata-rata minimal yang harus dicapai penyelenggara pendidikan sebagai penyedia pelayanan pendidikan kepada masyarakat;
b. Alat monitoring dan evaluasi serta tolok ukur untuk mengetahui kinerja pelayanan pendidikan kepada masyarakat;
c. Acuan pemenuhan dasar hak pendidikan dengan prioritas utama pelayanan pendidikan kepada masyarakat berbasis anggaran kinerja;
d. Acuan prioritas penyusunan perencanaan dan pembiayaan penyelenggaraan pendidikan.

Hal ini dibutuhkan untuk memastikan data kelembagaan madrasah diniyah yang layak di Bojonegoro, sekaligus untuk menghadirkan pelayanan pendidikan diniyah yang berkualitas sesuai dengan harapan kita bersama.

Artikel Opini Ini Ditulis Oleh:
EDY KUNTJORO
Pimpinan Redaksi netpitu.com
Pemerhati Pendidikan Diniyah di Bojonegoro.

Berita Terkait

Demi Proyek Bansos Jelang Lengser Bupati
Pers Pencasila dan Jurnalisme Patriotik
PKL Berbasis Proyek Solusi Alternatif Di Masa Pandemi Untuk SMK
Opini : Kebijakan Satu Pintu di Kantor Disdik Bojonegoro. Apa Maksudnya ?
Pilkada Tuban “Pertarungan 2 Raja”
Pancasila Dalam Perjuangan “Keadilan”
Pesta Di Tengah Bancana “Tante Mer”
Pilkades : Pilih Pemimpin Atau Pejabat