BOJONEGORO. Netpitu.com – Konflik pemanfaatan hutan antara warga Desa Babad, Kecamatan Kedungadem, Kab. Bojonegoro, dan dua perusahaan pabrikan gula, KTM dan PTPN, berdampak pada tidak optimalnya pengelolaan tanaman tebu di kawasan hutan KPH Bojonegoro itu.
Kedua belah pihak, baik masyarakat maupun pihak KTM dan PTPN sama-sama dirugikan.
Dimana pihak PT tidak bisa mengoptimalkan pengusahaan tanaman tebunya di lahan yang telah ditetapkan oleh menteri kehutanan dan lingkungan hidup, Siti Nurbaya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sementara itu, warga masyarakat petani hutan pun juga tidak bisa melakukan aktivitas kegiatan bertaninya di lahan yang biasa digarapnya sebagai lahan pertanian.
Selain itu, pihak Perhutani pun terkena getahnya, karena program perhutanan sosial yang disharringkan (P 83) dengan petani hutan itu menjadi mandeg. Warga bersikap melawan dan tidak mendukung program-program perhutanan sosial untuk masyarakat Desa sekitar hutan. Padahal program tersebut ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat Desa hutan.
Dari penjelasan Asisten Perhutani ( Asper ) BKPH Bareng, KPH Bojonegoro, John Sapulette, kepada netpitu.com, Kamis (20/6/2019), semula warga petani hutan memprotes lahan kawasan hutan yang biasa ditanami tanaman produksi pangan, Jagung dan Padi, itu, tiba-tiba ditanami tebu oleh PTKTM dan PTPN.
Merasa sumber kehidupannya terancam, petani pun melakukan protes mengungkapkan kekesalan dengan berbagai cara yang tujuannya menggagalkan tanaman tebu. Mulai dari mengganggu tanaman hingga membakar tanaman tebu menjelang masa panen.
Menurut John Sapulette, pihak Perhutani telah berupaya melakukan sosialisasi dan mempertemukan kedua belah pihak yang tengah berkonflik. Namun gagal, lantaran hadirnya pihak ketiga yang mendukung protes petani yang menolak tanaman tebu di wilayah hutan tersebut.
Pihak ketiga ( yang diketahui bernama Amin Tohari ), saat itu memprovokasi warga untuk tetap menolak tanaman tebu dan menjanjikan kepada petani bisa mendapatkan sertifikat tanah dari program perhutanan sosial yang digagas presiden Joko Widodo.
Alhasil, warga masyarakat pun terhasut bujukan Amin dan mengikuti langkah Amin Tohari melawan segala kebijakan Perhutani dalam pengelolaan hutan.
Amin, kepada warga mengajak mengusulkan program pemanfaatan hutan debgan ketentuan Peraturan menteri kehutanan nomer 39, atau lebih dikenal dengan P. 39. Dan kepada warga dengan lantangnya Amin menjajikan bisa mendapatkan sertifikat dari presiden dengan status hak milik.
Dengan iming-iming dan janji setifikat yangbtidak oernah tetlintas dipikiran warga pun langsung mengiyakan ajakan Amin.
Padahal apa yang dijanjikan Amin kepada warga pinghiran huran itu adalah pepesan kosong, alias bohong belaka. Tujuannya adalah cuma mencari suara dukungan dalam Pemiluhan umum legeslatif.
Menurut Adminstratur Perum Perhutani KPH Bojonegoro, Ir. Dewanto, pemanfaatan tanah hutan dengan ketentuan P 39, sebenarnya malah merugikan dan memberatkan masyarakat.
Karena ada kewajiban yang harus dipenuhi oleh warga, diantaranya pemegang ijin harus menanam produksi kayu hutan 50 persen, 30 persen untuk tanaman buah-buahan dan 20 persennya lagi tanaman pertania. Selain itu, pemegang ijin harus membayar pajak tanah hutan,, dan memberikan bagi hasil pemanfaatan hutan (sharring) kepada Perhutani.
“Jadi satu hamparan tanah tidak untuk tanaman pertanian,” jelas Dewanto.
Tidak hanya itu, pemegang ijin juga diwajibkan membayar bagi hasil produksinya ke Perhutani. Untuk produksi kayu 50 persen, buah 20 persen dan tanaman pertanian 10 persen.
Selain itu, baik Kementerian kehutanan maupun presiden tidak memberikan settifikat pemanfaatan hutan seperti yang dijanjikan Amin Tohari. Tetapi pihak kementerian hanya mengeluarkan ijjn pemanfaatan tanah hutan selama 35 tahun, dan ijin diberikan kepada kelompok bukan perorangan.
Program pemanfaatan hutan yang dikenal dengan perhutanan sosial yang digagas dan dilaksanakan di era pemerintahan Joko Widodo ini, sebenarnya memiliki tujuan mempercepat kesejahteraan petani hutan.
Kelompok petani hutan atau LMDH bisa mengusulkan kepada pemerintah melalui kementerian kehutanan untuk mengelola tanah hutan yang dalam kurun waktu 5 tahun berturut-turut dan penutupannya kurang dari 10 persen.
Ketentuan inilah yang harus terpenuhi sebagai syarat diijjnkannya kelompok masyarakat tersebut mengajukan ijin pemanfaatan hutan.
Usulan bisa disampaikan ke menteri kehutanan, selanjutnya menteri akan memadukkan usulan tersebut dan menyerahkan kepada Pokja PHPS untuk dilakukan kajian dan vetifikasi lapangan.
Jika memenuhi syarat, maka menteri kehutanan akan menetbitkan ijin pemanfaatan hutan kepada kelompok tersebut. Bukannya menerbitkan setifikat seperti yang disuarakan oleh Amin Tohari.
Pemberian sertifikat gratis oleh presiden Jokowi, hanya pada program PTSL. Dimana warga yang memiliki hak tanah tapi belum disertifikatkan bisa mengajukan pensertifikatan tanah secara gratis.
Program PTSL inilah yang sebenarnya dimanipuladi dan dijanjikan Amin kepada warga Desa hutan Babad itu, namun tanahnya menyasar pada kawasan hutan. Sehingga wargapun gampang kepincut omongan manis menjerumuskan dan menyesatkan warga tersebut.
“Ijin pemanfaatan hutan dengan P 39, tidak bisa diberikan sertifikat, hanya surat ijin dari kementerian,” tegas Adm. KPH Bojonegoro, Dewanto.
Lagipula, tambah Dewanto, tanah yang berada di petak 63, 62, 61, 49, 48, 56 itu oleh menteri kehutanan dan lingkungan hidup sudah ditetapkan untuk pemanfastan tanaman tebu.
Penetapan jenis tanaman tebu tersebut untuk mendiukung program pemerintah dalam swasembada pangan. Khususnya untuk pemenuhan kebuthan gula dalam negeri.
“Itulah program Presiden Joko Widido dalam menjawab tantangan swasembada gula,” papar Dewanto.
Jadi, jika mau menggunakan tanah hutan di petak tersebut dengan tanaman lain selain tebu jelas tidak bisa, karena melanggar ketetapan menteri. Selain itu, tanah di petak hutan itu ijin pemanfaatannya sudah diberikan kepada dua pabrikan tebu, yakni KTM dan PTPN.
Sehingga tidak mungkin warga Desa Babad itu bisa mendapatkan hak pemanfaatan lahan hutan di petak tersebut. Kecuali menteri kehutanan membatalkan pemanfaatan peruntukkan tanah tersebut dan juga membatalkan ijin yang telah dikeluarkan untuk KTM dan PTPN.
“Kasihan warga yang tidak tahu apa-apa disesatkan oleh informasi yang tidak benar,” tandasya lebih lanjut.
(oro)