Soekarno Sosok Nasionalis Penggemar Tabligh Kiai Ahmad Dahlan

- Tim

Rabu, 6 Juni 2018 - 16:59

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

BOJONEGORO. Netpitu.com – Hari ini, Rabu, Tanggal 6 Bulan Juni Tahun 2018 adalah hari lahir presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno yang ke 117 tahun. Tepatnya Soekarno lahir pada 6 Juni 1901, semasa negeri iji dikuasai oleh imperialis kolonial Bekanda.

Bung Karno adalah kenyataan, sosoknya melekat pada peristiwa yang lampau, kini dan selamanya. Kiprah perjuangan dan ajarannya selalu akan hidup dalam keabadian, sebagaimana kita semua mengharapkan bangsa Indonesia menjadi bangsa besar, lestari dan abadi sepanjang zaman.

Sejarah Bung Karno adalah sejarah tanpa akhir, bukan saja bagi saksi perjuangannya, namun bagi generasi penerus yang hendak melanjutkan api perjuangannya.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Generasi yang lahir dan tumbuh di era Orde Baru atau pasca reformasi tentu tak sempat menyaksikan langsung perjuangannya. Namun warisan sejarah terbesar telah Bung Karno wariskan, ia bernama Pancasila. Kini, meski zaman telah berganti, ajaran-ajarannya semakin menemukan relevansinya, tetap hidup dan mempesona. Kharisma agung dan buah-buah pikiran Bung Karno merupakan hasil dari proses kesejarahan panjang berliku.

Soekarno adalah anak kedua dari Raden Soekemi Sosrodihardjo dari Probolinggo dan Ida Ayu Nyoman Rai Sarimben asal Singaraja, Bali. Pada transisi abad, Soekemi pindah ke Jawa, dimana Kusno lahir pada pagi saat fajar menyingsing tanggal 6 Juni 1901 di Lawang Seketeng, Surabaya. Karena sakit-sakitan, Kusno kelak diubah namanya oleh Ayahnya dengan nama Soekarno.

Saat di Mojokerto, Soekarno kecil sangat lekat dengan dunia wayang. Seni pertunjukan Wayang merupakan salah satu sumber pengetahuan utama Bung Karno. Di dalam cerita dan lakonnya, Wayang menyimpan berjilid-jilid pelajaran tentang perilaku manusia, hubungan antar manusia dan alam semesta, keseimbangan alam semesta, kontradiksi, konflik dan pola-pola pertentangan yang saling melengkapi.

Bung Karno sejak kecil memiliki modal ajar filsafat Jawa dari kakek neneknya di Tulungagung, dari ayahnya di Mojokerto, bahkan menjadi pendengar yang baik dari Wagiman sang Petani miskin di Mojokerto. Soekarno juga termasuk di antara anak-anak yang duduk bersama orang tua mereka menonton pertunjukan wayang dan mendengarkan hingga usai cerita serta watak lakon-lakonnya.

Dari pertunjukan wayang inilah Soekarno menyerap nilai-nilai kemajemukan, tentang penguasa dan juga tentang cerita rakyat jelata. Namun sosok kunci, yang amat berpengaruh bagi pembentukan jalan hidup dan jati diri Soekarno, adalah sosok ayah. Ayah Bung Karno adalah Guru yang tekun mendidik Soekarno dengan disiplin berstandar tinggi.

Seiring waktu, Soekarno kecil tumbuh menjadi Soekarno Muda. Tonggak penting dalam perjalanan hidup Bung Karno ada di tahun 1916. Setelah lulus dua tahun sekolah dasar Belanda pada ELS (Europese Lagere School) di Mojokerto, Bung Karno memenuhi syarat masuk ke Sekolah Menengah Belanda.

Baca Juga :  Memaknai Hijrah

Ayahanda memasukan Soekarno pada Hogere Burger School (Setingkat SMA) di Surabaya melalui Oemar Said Tjokroaminoto, yang sekaligus menitipkannya di rumah Tjokroaminoto di Peneleh, Surabaya.

Pondokan Tjokro merupakan kawah candra dimuka bagi sejarah pergerakan nasional. Pondokan Tjokro adalah episentrum para tokoh bangsa ditempa. Dari tempat inilah kelak lahir banyak tokoh bangsa yang sangat berpengaruh bagi perjalanan perjuangan bangsa dan Negara Indonesia.

Di rumah Tjokroaminoto, Bung Karno digembleng pengalamannya mengenal politik. Dari sinilah hasrat Bung Karno terhadap pergerakan nasional mulai berkobar. Tjokroaminoto merupakan orator ulung, pucuk pimpinan Sarekat Islam (SI), dan dari organisasi inilah Soekarno menyaksikan banyak peristiwa penting yang kelak ia jadikan pelajaran bagi perjuangannya.

Kemajemukan aliran politik yang tumbuh subur di rumah itulah yang memberi warna pada jati diri Bung Karno, beberapa tokoh pergerakan pada saat itu yang mondok belajar bersamanya di rumah Tjokroaminoto bukanlah sembarang nama, mereka adalah Alimin, SM. Kartosuwiryo, Muso, Darsono, hingga Agus Salim dan sebafainya. Tepat kiranya julukan bagi Tjokro yaitu Sang Mahaguru para pejuang Bangsa.

Meskipun Soekarno tergolong anak baru, sekaligus yang termuda, namun semangat belajar Soekarno sangatlah tinggi. Ketika malam tiba, saat yang lain terlelap tidur, Soekarno justru mengambil waktu untuk belajar pidato di depan cermin. Betapa besarnya energi Soekarno untuk menyerap ilmu orasi dari apa yang ia saksikan pada diri Tjokroaminoto.

Pada usia 15 tahun, Soekarno menggemari dan kagum terhadap ajaran-ajaran KH. Ahmad Dahlan, Hal ini Soekarno akui dalam pidato Muktamar Muhammadiyah setengah abad pada 25 November 1962 di Senayan. Dari KH. Ahmad Dahlan-lah Bung Karno mendapatkan pemahaman Islamnya selain dari Tjokroaminoto.

Kedua tokoh itulah yang mengisi dadanya Soekarno dengan Api Islam. Dalam pidatonya Bung Karno bertutur:

“Saya tatkala berusia 15 tahun telah buat pertama kali berjumpa dan terpukau – dalam arti yang baik – oleh Almarhum Kiyai Hajji Ahmad Dahlan…. Pada waktu itu saya di Surabaya, saya berdiam di rumahnya almarhum Umar Said Cokroaminoto di Kampung Peneleh dan saya hadir di dalam tabligh itu. Dan terus terang segera saya tertangkap oleh apa yang dikatakan oleh almarhum Kiyai Dahlan, sehingga tadi dikatakan saya kemudian menghadiri tabligh-tabligh Kiyai Dahlan dilain-lain tempat.

Dalam seminggu saja tiga kali di Kota Surabaya, kemudian lain-lain tahun masih beberapa kali lagi. Malahan tatkala saya mengadakan ramah-tamah dengan saudara-saudara yang datang di Istana Bogor, saya berkata bahwa saya ngintil-ngintil Kiyai Ahmad Dahlan itu…..”

Tabligh-tabligh Kiyai Ahmad Dahlan membuat Bung Karno tercerahkan, terutama berkaitan dengan pemahaman atas Islam yang berpihak pada kaum miskin (teologi Al Ma’un).

Kiprah Bung Karno dalam organisasi mulai beranjak bersinar. Pada Februari 1921 Soekarno mulai dikenal menjadi anggota “Jong Java” cabang Surabaya. Di dalam agenda rapat tahunannya, Bung Karno muda pernah membuat heboh. Soekarno mendapatkan giliran berorasi mengenai sistem pendidikan yang ia sampaikan dalam bahasa Djawa Dipa (Ngoko), ketua rapat dengan segera menghentikan orasi Bung Karno.

Baca Juga :  Wisata Air Panas Pratakan, Pernah Digunakan Berwudhu Syech Subakir

Terjadi perdebatan sengit karena ketua melarang penggunaan bahasa “Ngoko” kemudian Bung Karno diminta melanjutkan orasinya dalam Bahasa Belanda, tapi Bung Karno menolak mentah-mentah permintaan ketua rapat tersebut dengan perdebatan yang sengit nan panas dan ceramah pun bubar dalam suasana hiruk-pikuk.

Dalam agenda lain namun dalam organisasi yang sama, Suasana yang tidak kalah kacaunya adalah ketika Bung Karno mencetuskan perdebatan sengit. Ia mengusulkan agar keanggotaan perhimpunan itu tidak hanya terbatas bagi murid-murid sekolah lanjutan dan menengah, tetapi juga mengakomodir murid-murid sekolah dasar, selain itu surat kabar Jong Java diterbitkan dalam bahasa Melayu saja, bukan dalam bahasa Belanda.

Dalam perdebatan mengenai nilai bahasa Melayu, Soekarno berbicara dengan semangat berkobar-kobar sehingga Ketua Rapat mengancam akan mengeluarkannya. Pada kesempatan ini Soekarno tidak jadi mengucapkan pidato yang telah direncanakannya mengenai masalah “Kemiskinan dan Kekurangan.”

Mulai saat itu Soekarno bukan lagi seseorang yang tidak dikenal; dalam bulan Mei 1921 diberitakan bahwa dalam suatu demontrasi yang besar pada Hari Buruh, Tjokroaminoto menerobos massa menuju podium didampingi oleh “tokoh muda yang populer, Soekarno.”

Juni 1921, tibalah saat Bung Karno tiba di Bandung. Di perguruan tinggi pertama di Hindia Belanda, Technische Hoogeschool (THS), Bung Karno akan melanjutkan sekolahnya.

Bandung adalah salah satu pusat alam pemikiran nasionalis. Soekarno bergerak. Ia mulai dari kelompok Studi Umum (Algemeene study club) bersama Mr. Isqaq Tjokrohadisoerjo, Tjipto Mangunkusumo, Abdoel Moeis dan Anwari pada 29 November 1925.

Pada perkembangannya organisasi ini berkembang menjadi Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) pada 4 Juli 1927 dan dalam dua setengah tahun berganti nama menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI).

PNI menjadi partai nasionalis yang berpengaruh di Hindia Belanda, anggotanya meluas hingga 10.000 orang. Secara organisatoris, partai bertambah kuat, rapat-rapat diadakan teratur, atensi besar dari rakyat pun bermunculan ketika tokoh-tokoh PNI berpidato di hadapan masa. Bung Karno adalah daya tarik utama.

Bung Karno tengah bersinar menjadi singa podium yang hebat. Bahasanya sederhana, mudah dipahami rakyat, seringkali Bung Karno menggunakan dongeng-dongeng, cerita-cerita rakyat popular – terutama cerita-cerita wayang. Tradisi wayang yang ia gandrungi dengan tekun sejak masa kecil dulu.

Pidatonya seakan menyihir rakyat untuk merubah mental rendah diri menjadi semangat bertekad baja. Bung Karno mendorong rakyat untuk berbangga diri menjadi bangsa yang dulu menjadi bangsa besar dan hendak jadi bangsa merdeka dari penjajahan.

Baca Juga :  Mahasiswa UGM Budidaya Jamur di Kimak Bangka

Segala aktivitas Bung Karno memimpin PNI mengakibatkan Bung Karno ditangkap atas tuduhan pemberontakan kepada pemerintah Belanda. Pada 29 Desember 1929 ia ditangkap di Yogyakarta bersama Gatot Mangkupraja. Mereka kemudian dijebloskan ke Penjara Banceuy, Bandung. Tak lama tokoh PNI lainnya, Maskun dan Supriadinata juga dimasukkan ke dalam penjara yang sama.

Selama di penjara Bung Karno ditempatkan di sel No.5 di Blok F, sel yang amat sangat sempit dan gelap. Lebarnya satu setengah meter dan panjang dua meter, dan setengahnya terpakai untuk tempat tidur. Lembab, dingin, tak ada jendela, hanya pintu terbuat dari besi hitam dengan sebuah logam kecil yang ditutup dari luar.

Dalam sel bermeja kotak kakus, Bung Karno menuliskan pledoi pembelaannya. Ketika pada saatnya, 1 Desember 1930 Soekarno tampil menyampaikan pledoinya di muka pengadilan Landraad, Bandung.

Secara memukau Bung Karno membongkar dan menelanjangi imperialisme dan penindasan kolonialisme yang menyengsaakan rakyat Indonesia. Uraian yang keras dan tandas itu terkenal dengan judul “Indonesia Menggugat”. Soekarno dipidana penjara dan para tahanan politik dikirim ke penjara Sukamiskin di dekat Bandung. Sekali lagi Soekarno merasakan kengerian–kengerian suasana terisolasi.

Indonesia Menggugat merupakan Pembelaan yang bukan hanya ditunjukkan kepada majelis hakim namun kepada seluruh rakyat Indonesia yang hendak ia bakar kesadarannya. Hukum penjara yang mengisolasi dirinya dari rakyat, kawan seperjuangan, sanak saudara serta istrinya justru mengokohkan sosok Bung Karno yang semakin tegar. Bahkan di dalam penjara, perjalanan spiritual Bung Karno semakin dalam, ia bahkan semakin tebal jiwa keislamannya.

Perjuangan Bung Karno selepas dari Banceuy justru semakin berkobar, namun Isolasi, penjara dan pembuangan adalah konsekuensi dari bengisnya hukum kolonial Belanda. Menjauhkan Bung Karno dari Rakyat dengan pembuangan ke Bengkulu hingga Ende justru memperhebat perjuangan Bung Karno.

Ia semakin dicintai rakyat. Bung Karno tetap ada di hati dan relung jiwa bangsa Indonesia. Dari pembuangan ke pembuangan Bung Karno mampu menyelami dan menangkap kondisi dan aspirasi rakyat Indonesia dengan keberagamannya yang khas untuk kemudian dipersatukan sebagai sebuah bangsa yang merdeka.

Bung Karno juga mampu menjadi seorang yang visioner yang dapat membaca, melihat, menganalisa, memberi pandangan yang jauh ke depan melampaui zamannya. Sehingga tak salah jika ia telah berhasil membimbing perjuangan bangsa Indonesia. Dedikasi Bung Karno sepenuhnya untuk kebangunan Indonesia. Ia tak hanya sekedar menghidupkan api revolusi tapi juga memberi tuntunan bagi jalannya kemerdekaan sejati.

Ditulis oleh : H. Abidin Fikri, S.H., M.H.
PLT Ketua DPC PDI Perjuangan Kab. Bojonegoro.
Anggota DPR RI Fraksi PDIP Tahun Periode 2014 – 2019.

Berita Terkait

Copras – Capres 2024
Tampil Unik Peserta Lomba Nyanyi Lagu Kenangan Ini Dapat Hadiah Dadakan
Pers Pencasila dan Jurnalisme Patriotik
PKL Berbasis Proyek Solusi Alternatif Di Masa Pandemi Untuk SMK
Opini : Kebijakan Satu Pintu di Kantor Disdik Bojonegoro. Apa Maksudnya ?
Penonton Lomba Oklik Berjubel, Salah Siapa ?
Pilkada Tuban “Pertarungan 2 Raja”
Merebut Kembali Minyak Jonegoro