Netpitu.com – Disaat Institusi penegak hukum, Polri berjuang keras melakukan pembenahan dan perbaikan pelayanan hukum terhadap masyarakat, ada teriakan melengking seorang perempuan yang merasa telah diperlakukan tidak adil oleh pelayanan hukum aparat Kepolisian sebagaimana yang diatur dalam KUHAP.
Begitu halnya dengan Institusi Kejaksaan yang dharapkan dapat tampil sebagai sosok lembaga penuntut umum dan berdiri tegak dengan gagahnya membela hukum Negara. Malah turut memperparah keadaan dengan bekerja tak profesional.
Bak pepatah “Nasi telah menjadi bubur”, namun keadaan ini bukan untuk disesali. Lebih dari itu, perlu ada evaluasi mendalam. Dan berani menyatakan salah bila salah kemudian dengan serta merta segera memperbaiki kesalahan. Dan memberikan sanksi terhadap aparat yang telah bertindak lancang terhadap peraturan perundangan.
Lantaran yang harus diingat dari pepatah “Nasi menjadi bubur” adalah sarkasme terhadap keadaan yang terjadi atas kelalaian orang yang bertanggung jawab memasak nasinya.
Akibat kelalaian itulah kini pamor hukum di Bojonegoro telah terluka.
Bagaimana tidak, perempuan dengan nama Rodiyyah, (37) warga Desa Kedungbondo, Kecamatan Balen, Bojonegoro itu, tiba-tba saja dihadapkan pada persoalan hukum dan terancam jadi terpidana.
Padahal sebelumnya, Rodiyyah, pada 23 Desember 2016 lalu telah melaporkan peristiwa tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dialaminya.
Ia melaporkan kepada petugas Polsek Kanor, bahwa ia (Rodiyyah) pada 22 Desember 2016, sekitar Pukul 17.45 Wib. telah menerma tindak kekerasan dari suaminya bernama Zainuddin, yang menjabat sebagai Kaur Pemerintahan Desa Cangakan.
Ketika itu, Rodiyyah mendapatkan kekerasan fisik dari Zainudin yang terlihat dalam keadaan kalap. Karena ketakutan dan merasa keselamatannya terancam maka Rodiyyah berusaha sebisa mungkin melawan.
Menurut Rodiyyah, pada saat itu ia ditampar oleh suaminya. Untuk membela diri dia mengangkat kaki dan mengenai suaminya yang berusaha mendekatinya dengan kalap.
Atas perilaku kasar yang membahayakan keselamatan jiwanya inilah kemudian Rodiyyah mendatangi Polsek Kanor untuk tujuan melaporkan peristiwa KDRT yang dialaminya.
Pada awal melapor ke Polsek Kanor, laporan Rodiyyah tidak ditanggapi. Bahkan dengan alasan “masalah intern”, pihak Polsek tidak memberikan surat bukti lapor kepada Rodiyyah bahwa pengaduannya telah diterima.
Tidak hanya itu, permintaan Rodiyyah untuk divisum juga ditolak oleh petugas Polsek Kanor, dengan alasan akan diselesaikan di balai Desa.
Kemudian pada tanggal 24 Desember 2016 Rodiyyah mendapat panggilan lewat telepon dari Kapolsek agar datang pada tanggal 25 Desember 2016 ke Polsek untuk pemeriksaan laporan KDRT serta mengabulkan permintaan visum yang sebelumnya sempat ditolak.
Selanjutnya untuk memenuhi panggilan Kapolsek Kanor, Rodlyyah dengan ditemani Ainun Naim, datang ke Polsek Kanor. Berdasarkan anjuran dan surat untuk visum dari kepolisian, Rodiyyah melakukan visum di Puskesmas pada tanggal 25 desember 2016. Hasil Visum tersebut kemudian diserahkan ke Polsek Kanor. Kemudian Rodlyyah kembali mendapat panggilan lewat telepon agar datang pada tanggal 27 Desember 2016, dengan membawa materai guna tanda tangan BAP.
Namun anehnya, sesampai di Polsek Kanor, Rodiyyah diminta untuk mediasi, bukan menandatangani BAP seperti yang diutarakan sebelumnya. Selanjutnya Rodiyyah disuruh membuat laporan ulang, karena laporan yang pertama dinilai terlalu bertele-tele.
Kemudian Rodiyyah yang disuruh membuat laporan KDRT tersebut, baru menyerahkan kembali laporanya pada tanggal 4 Januri 2017.
Dirilis oleh : Aliansi Masyarakat Pengawas Keadilan (AMPK)
Editor : Edy Kuntjoro.