Kita terus menerus, melakukan benchmark, terhadap sekolah-sekolah lain yang sudah maju.
“Itulah yang kami sebut sebagai transformasi kurikulum, terhadap sekolah Madrasah dibawah koordinasi dan bimbingan kami. Baik negeri maupun swasta”, jelas Prof. Dr. H. Moh. Isom Yusqi, M. Ag
Semua itu, sebagai upaya kami, agar Madrasah (disemua jenjang tingkatan), lanjut Prof Isom, kelahiran “arek” Surabaya, 1970, ini, guna mendorong kemajuan proses belajar dan mengajar. Sehingga diharapkan, dengan proses berkesinambungan (kontinus) ini, membawa Madrasah–yang berada dijalur pendidikan Islam–, ini mampu bersaing dengan sekolah-sekolah dijalur umum, bahkan bisa akan menjadi teladan .
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
” Terpenting, saat ini, minimalnya tidak ada lagi stigma. Bahwa Madrasah itu dianggap sebagai sekolah “puritan” dimata masyarakat luas. Sepertinya, sudah beringsut-ingsut, bergeser kearah middle”.
Sebagai Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan dan Kesiswaan Madrasah, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementrian Agama RI. Prof Isom, baru dilantik dan menjabat sebagai Direktur KSKK, baru akhir bulan Juni 2021. Artinya, baru tiga bulan mendudukinya.
Dilantai 8, Kantor Departemen Agama, yang berada di bilangan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Jurnalis Netpitu.com, menemui Prof Isom. Apa, mengapa, bagaimana, serta target yang ingin dicapainya– dalam memajukan pendidikan Madrasah– disemua jenjang pendidikan–, berikut petikan wawancara tersebut.
Netpitu (NP): “Assalamualaikum wrwb. Selamat Prof Isqo, atas pelantikannya!”
Prof Isqo (Prof) : ” Waalaikumsalam wrwb. Terima kasih. Semoga saya bisa menjalankan amanah ini dengan baik, benar dan dilancarkan semuanya oleh Allah Swt”.
NP :” Prof, apa yang pertama kali dilakukan, dalam 3 bulan pertama menjabat ini?”
Prof: “Salah satunya, merubah tag line Madrasah. Sebelumnya, “Madrasah Hebat Bermartabat”. Menjadi ” Madrasah Mandiri Berprestasi”.
NP :” Kenapa begitu, Prof?”
Prof : “Semuanya agar bisa terukur. Tag line sebelumnya, lebih normatif dan kualitatif”.
NP: “Kongkritnya?”
Prof: “Anak-anak dari TK, kita ajarkan buat mandiri. Dari kemandirian itulah, akan muncul prestasi. Prestasi ini, mesti bisa diukur. Baik untuk level lokal, nasional maupun internasional”.
NP: “Lalu?”
Prof: ” Termasuk para guru- guru dan Kepala Sekolah. Mereka mesti ada target. Seberapa jauh capaian mereka. Sehingga diharapkan, akan muncul persaingan positip diantara sekolah Madrasah, yang ada di Indonesia ini”.
NP: ” Jika mereka tak memenuhi target, Prof?
Prof: ” Ya, di down-grade. Semisal, Man IC, yang di Serpong itu. Target mereka, 90 % lulusannya harus bisa masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Lalu ada juga dengan target 70%, 60%, dst”.
NP: ” Memang ada seberapa banyak Madrasah, Prof?”
Prof: “Ada 83.000. Baik negeri maupun swasta. Yang melibatkan 25 juta siswa, serta 1 juta guru”.
Prof Isom, yang alumni Universitas Islam Negeri, Maulana Malik Ibrahim, Malang ini, menghabiskan masa remajanya, di Surabaya. Setelah lulus di UIN tersebut, menjadi Dosen Fakultas Tarbiyah, di Ternate.
Sembilan tahun sebagai dosen dijalaninya. Sebelum ditarik ke Kementrian Agama, tahun 2006, pada Direktorat Pesantren yang menangani Madrasah. Empat tahun kemudian, 2011 pindah kedirektorat Perguruan Tinggi, menjadi Kadubdit Ketenagaan, yang mengurusi dosen, Guru Besar dan seleksi para Rektor. Tiga tahun, pada posisi ini.
Tahun 2014 menjadi Sekretaris Kementrian, hingga empat tahun kemudian, 2018. Kemudian, berpindah ke Litbang, 2019 – 2021. Hingga pada akhir Juni, 2021 ini, dilantik menjadi Direktur KSKK.
NP: “Prof, bagaimana dengan maraknya isu radikalisme dan intoleran akhir- akhir ini? Dan, keterkaitannya pada pendidikan jalur keislaman, khususnya pada sekolah Madrasah?
Prof : “Harus dibedakan antara pendidikan Madrasah dan pesantren. Pada umumnya, tidak ditemukan hal tersebut pada Madrasah. Baik yang negeri maupun swasta”.
NP: “Lantas?”
Prof: ” Kalau pun kemudian, ditemukan disalah satu pesantren. Itu juga tidak banyak. Semisal, ( menunjuk salah satu pesantren di Sukoharjo, red), disana juga bukan bagian mainstream. Hanya sebagian kecil saja yang terpapar”.
NP: “Program-program apa yang sudah dan akan dilakukan mengatasi hal tersebut?”
Prof: ” Sebenarnya, sejak era 80-an, saat Menteri Agama, dijabat Pak Munawir Syazali, telah banyak merubah wajah pendidikan Islam. Waktu itu, banyak program beasiswa untuk mengirimkan mahasiswa dan dosen ke luar negeri. Ada Amerika, Eropa dan negara Timur Tengah. Saat ini, mereka kan sudah pada lulus dan kembali ketanah air”.
NP: “Bagaimana dampaknya?”
Prof: “Cukup signifikan. Banyak kemajuan yang cukup berarti. Dan, itu bisa kita rasakan bersama. Banyak lulusan Man IC yang kemudian menjadi juara olimpiade, dalam beberapa bidang”.
NP: “Terkait radikalisme tadi?”
Prof: “Karena itu paham ideologis, mereka masuk ke sekolah dan universitas umum juga. Bahkan alumninya, kemudian juga masuk ke beberapa Departemen”.
NP: “Jadi, bagaimana kongkritnya?”
Prof: ” Kami tentu melakukan pembinaan sekaligus pengawasan. Baik pada siswa, guru, dosen dan pihak- pihak yang terkait lainnya”.
NP: “Apa saja kendalanya, Prof?”
Prof: “Biasanya, mereka itu, khususnya para dosen, argumennya karena atas dan demi kebebasan akademik dan otonomi keilmuan. Pada konteks ini, tentu kami tak bisa melarang. Karena didalam lingkup kampus, memang bebas belajar tentang paham apa saja. Baik itu kapitalisme, komunis atau lainnya”.
NP: “jadi ?”
Prof: “Yang kami larang itu, jika mereka menulis di area publik. Semisal, di medsos itu. Apalagi jika sampai, mereka mengajak masyakat luas, untuk mengikuti paham yang sudah terlarang oleh pemerintah”.
Profesor yang nampak energik dan open-mind ini, mempunyai dua putra dan satu putri. Sulungnya menjadi mahasiswa di UIN Jakarta, dan si bungsunya duduk dibangku SMA.
Beristerikan seorang akuntan, jebolan Airlangga. “Saya ini, punya isteri Pek-go– ngepek tonggo– (tetangga sendiri)”, selorohnya.
NP: “Prof, bagaimana proses belajar dan mengajar di saat pandemi Covid-19 ini?”
Prof: “Dimasa pandemi, ini ada aplikasi madrasah siap belajar. Via daring, seperti sekolah lainnya”.
NP: ” Bagaimana dengan vaksinasi mereka?”
Prof: “85% para guru, sudah di vaksin (dari satu juta guru). Sedangkan, siswa 50% ( dari 25 juta siswa).
NP: “Kedepan seperti apa, madrasah ini mau diarahkan?”
Prof: ” Sebenarnya, pendidikan madrasah itu mirip dengan sekolah umum lainnya. Cuma, ada 5 perbedaan. Yaitu, ada tambahan bahasa arab, sejarah islam, Quran dan Hadist, fiqih ibadah (sholat yang benar) serta akhidah (etika).
NP: ” Terakhir, Prof. Bagaimana dengan target yang ingin Prof capai?”
Prof: “Sebenarnya, dalam UU Sisdiknas, peran madrasah dan sekolah umum, itu sama. Bedanya cuma, kalau madrasah dibawah Kementrian agama, sekolah umum dibawah Dikbud-ristek. Sentralistik di kami, dan otonomi pada mereka”.
NP: “Lantas, apa masalahnya?
Prof: “Tapi dalam perhitungan dana BOS, ada perbedaan yang cukup signifikan”.
NP: ” Maksudnya?”
Prof: “Kalau mereka, digunakan perhitungan budget majemuk. Yaitu, berdasar penyesuaian tingkat kemahalan daerah setempat. Sedangkan kami, dengan perhitungan budget kebutuhan unit cost. Yaitu, berdasar kebutuhan masing-masing siswa”.
NP: ” Keduanya ada korelasi erat ya, prof?
Prof: “Sudah barang tentu. Semuanya itu, dimaksudkan sebagai upaya, untuk mengejar menjadi Madrasah Mandiri Berprestasi. Sebagaimana, tag line yang baru kami luncurkan itu”.
Reporter : D. Sukowiradi.