BOJONEGORO. Netpitu.com – Meski Pemerintah Provinsi Jawa timur telah melarang penjualan pakaian seragam sekolah di lingkungan sekolah, namun larangan ini tidak tidak berarti bagi SMK Negeri 1 Bojonegoro. Sekolah yang berlokasi di jalan Panglima Polim, No. 50 ini tetap nekad melakukan praktek penjualan seragam sekolah kepada siswa didik baru. Tak tanggung- tangung, total harga bagan pakaiannyapun dipatok seharga Rp. 1,6 juta lebih.
Kebijakan siswa baru harus beli kain bahan pakaian seragam ini diwajibkan kepada semua siswa baru tanpa pandang bulu. Sehingga siswa dari keluarga miskin pun menjadi kelimpungan memenuhi untuk membayar uang tebusan pakaian seragam.
Seperti diungkapkan Ratna, salah satu orang wali murid dari SMK Negeri 1 Bojonegoro, yang mengeluhkan manajemen Komite Sekolah yang dianggap tak transparan dalam pengelolaan kewajiban pembayaran bagi siswa-siswinya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ratna mengaku kecewa dengan kebijakan yang diberlakukan oleh pihak Komite SMK Negeri 1 Bojonegoro soal pembayaran uang Gedung hingga SPP dan juga pembelian seragam.
“Anak saya mendaftar sekolah di SMK Negeri 1 Bojonegoro memberitahukan untuk menebus seragam sekolah sebesar Rp. 1, 600 ribu rupiah, uang SPP sebesar 120 ribu rupiah per bulan, dan untuk uang gedung sebesar Rp. 3,5 juta rupiah dan harus dibayar 3 kali dalam 1 tahun, pembayarannya bertahap,” keluh Ratna, Rabu (18/10/2023).
Keberatan dengan besarnya biaya keuangan sekolah yang harus dibayarkan, Ratna pernah mengajukan keringanan kepada pihak sekolah untuk pembayaran uang SPP dan juga uang gedung.
Tetapi pihak kepala sekolah menegaskan kepada anak saya, agar pihak orang tua datang ke sekolah membawa surat SKTM (surat keterangan tidak mampu) dari Desa untuk bukti bahwa benar-benar tidak mampu.
“Tetapi saat saya datang ke sekolah untuk menemui kepala sekolah untuk meminta keringanan, kepala sekolah bilang boleh tetapi akan di survey dulu kondisi rumah kami. Jika benar tidak mampu maka kami akan diberi keringanan untuk membayar SPP dan uang gedung tersebut,” jelas Ratna.
Saat disinggung untuk seragam apakah diwajibkan membeli atau tidak, dikatakan Ratna, seragam diharuskan beli, dan itupun seragam masih dalam bentuk kain belum jadi.
” Nah seperti ini orang tua kan harus mengeluarkan biaya lagi untuk ongkos jahit,” tandas Ratna, kesal.
Ratna selanjutnya mengungkapkan terdapat beberapa macam pembayaran yang wajib dilunasi di SMKN 1 Bojonegoro. Seperti uang OSIS, uang Komite, ada uang tabungan Komite dan uang gedung yang sekarang diganti ini dengan nama uang sumbangan isedental.
Kepada netpitu.com Ratna mengungkapkan jika pihak orang tua saat itu pernah diundang untuk rapat dan dijelaskan soal besaran pembayaran.
Dan saat itu juga dijabarkan berapa besar kekurangan sekolah, dan dari jumlah kekurangan tersebut, setelah diakumulasi selanjutnya dibagi jumlah siswa baru.
Sebenarnya, lanjut Ratna, banyak orang tua siswa yang tidak terima dan keberatan atas jumlah besaran uang pungutan. Apalagi jika mengingat kebutuhan anggaran pembangunan gedung dan renovasi gedung sekolah itu sudah dibiayai oleh pemerintah. Kenapa harus dibebankan kepada orang tua siswa ?.
“Setiap diklarifikasi pihak sekolah selalu bilang untuk kebutuhan anak sendiri dalam pendidikan harus iklas, itu juga nanti hasilnya untuk anak kita. Ya mau tidak mau setuju dan tidak setuju, kita semua para orang tua yang harus tanda tangan di kertas absen dalam kesangupan bayar,” keluh Ratna, sembari menghela nafas panjang.
Ratna sepertinya tidak sendirian dalam mengalami beratnya melunasi pembayaran uang sekolah di SMKN 1 Bojonegoro. Salah satu wali siswa berinisial PH, mengaku baru baru saja melunasi uang seragam pakaian sekolah dan uang SPP keponakannya.
Menurut PH, kebijakan pihak sekolah ini aneh. Lantaran sudah ada larangan dari Pemprov Jatim yang melarang pihak sekolah, baik melalui komite atau koperasi sekolah untuk menjual bahan pakaian seragam siswa yang baru masuk dalam tahun ajaran baru. Tapi nyatanya larangan itu toh ditabrak juga.
” Terlebih lagi, dalam penerapan kebijakannya, pihak sekolah memberlakukannya secara umum kepada semua siswa baru. Jika demikian, bagaimana nasib siswa yang berasal dari keluarga miskin. Mampukah ia membayar ?,” cetus PH, kepada netpitu.com.
Diceritakan PH, ia tidak tega dan merasa trenyuh saat melihat dan mendengar keluhan keponakannya yang mengadu kepada ibunya. Keponakan PH yang bersekolah di SMKN 1 Bojonegoro, saat itu mengadu ditagih untuk menebus yang seragam dan melunasi SPP.
Karena kondisi ibunya miskin, ibu keponakan PH itu pun hanya bisa menangis terisak dan sedih, karena belum mampu memenuhi kewajiban membayar uang sekolah.
” Melihat kejadian itu, saya pun turut prihatin dengan perkembangan pendidikan di Bojonegoro ini. Bahkan siswa miskin pun dipaksa membayar pungutan uang sekolah,” ujar PH.
Merasa kasihan dengan keponakannya, PH pun esok harinya mendatangi SMKN 1 Bojonegoro dan membayar biaya uang sekolah dan seragam yang mesti dilunasi keponakannya.
Sementara itu kepala sekolah SMK Negeri 1 Bojonegoro saat dikonfirmasi melalui sambungan selulernya tidak ada jawaban, dan saat ditemui di sekolah juga tidak ada di tempat.
(Put)