Mendobrak Kemiskinan Dalam Keterbatasan

Uncategorized412 views

Netizensatu.com – Menjadi pribadi yang sukses secara mandiri memang tidaklah mudah terutama bagi kalangan masyarakat kurang mampu. Kesuksesan nampaknya lebih dekat dan gampang diraih orang kaya atau mampu. Namun demikian tidak berarti orang miskin dilarang sukses, atau tidak bisa meraih kesuksesan sebagaimana dicita-citakan banyak orang.

Heru Suroso, yang akrab dipanggil “ Kang Roso “ dan “ Mbah Roso “ ini, adalah contoh masyarakat yang lahir dari keluarga miskin, tinggal di pelosok Dusun Ndangilo, Desa Hargomulyo, Kecamatan Kasiman, Kabupaten Bojonegoro, yang telah berhasil mewujudkan impiannya menjadi orang sukses di usia mudanya.

Pria yang lahir pada 07 Agustus 1978 dari pasangan Djaswadi dan Hj. Kartini ini menggambarkan potret keluarga miskin yang jauh dari kecukupan. Rumah reot terbuat dari kayu, berdinding kepang bilah bambu dan beralaskan lantai tanah menjadi kenangan yang terus mengiang di memory pikirnya.

Tak kuasa menanggung beban kemiskinan yang terus menjeratnya, kang Roso kecilpun sudah nekat bekerja untuk membantu orang tua. Dengan bekerja sebagai tukang kayu, mencari dan mengumpulkan rencek di hutan untuk dijual.

Selain itu pengalaman kerja “ mluntur “ di penambangan sumur minyak tua di Desa Hargomulyo, menjadi cambuk kang Roso untuk bangkit berjuang menembus keterbatasan dan tumbuh menjadi manusia tangguh yang siap menghadapi semua tantangan kehidupan.

“ Umur 6 tahun saya ditinggal ibu saya pergi mencari kerja. Saat itu saya tidak tahu kemana kota tujuan ibu pergi, ibu hanya pamit pergi mencari kerja. Dan saya tinggal bersama kakek dan nenek saya,” tutur Kang Roso mengenang masa masa kecilnya.

Dalam kemiskinan yang utama adalah mempertahankan hidup, menjaga bagaimana hidup bisa terus berlangsung. Meski berat tapi harus dijalani. Itulah alasan kenapa Kang Roso harus menjalani masa pendidikan Sekolah Dasarnya, di SDN II Desa Hargomulyo  Selama 7 tahun.

Hal tersebut semata-mata karena kang Roso harus membantu sang kakek untuk mencari nafkah, dengan menjadi tukang angon sapi, mencari rumput, mencangkul sawah, mencari kayu bakar dan juga mengais lentung minyak mentah ( mluntur ) dari hasil penambangan sumur minyak tua yang menjadi usaha utama perekonomian di Desa Hargomulyo, selain pertanian.

“ Sekolah di  Madrasah Tsanawiyah Islamiyah Kasiman pun saya hampir putus karena tidak punya biaya untuk bayar sekolah,” kenang Kang Roso.

Tapi niat kang Roso untuk berhenti sekolah itu dicegah oleh kepala MTs Islamiyah, Kasiman, Pasiman. Oleh Kepala Mts Islamiyah kang Roso diberikan kebijakan sekolah gratis hingga menyelesaikan pendidikannya di MTs Islamiyah, Kasiman, pada 1995.

Selepas dari MTs Kang Roso pun nekat pergi ke Bojonegoro dengan mancal sepeda ontel mencari sekolah yang diincarnya, yakni Madrasah Aliyah Negeri ( MAN ) Bojonegoro.

Dipilihnya MAN Bojonegoro, menurut Kang Roso karena ia kepengin mencari pengalaman baru di daerah yang baru. Selain itu juga Kang Roso juga kepengin mondok di Pondok Pesantren.

Setelah kang Roso daftar dan diterima sekolah di MAN Bojonegoro, persoalan mulai muncul. Yakni bagaimana Kang Roso harus membiayai sekolahnya, indekostnya dan biaya makannya?.

Waktu itu Kang Roso pusing kepala karena memutar otaknya. Karena tak mungkin setiap hari ia harus “mbajak” pulang pergi ke sekolah, dengan jarak Bojonegoro – Kedewan yang kurang lebih mencapai 50 Kilo meter.

Dengan niat bulat, Kang Roso pun nekat menemui kepala Madrasah Aliyah Negeri Bojonegoro, Munandar, untuk menyatakan niatnya melanjutkan sekolah namun ia tidak mempunyai biaya untuk membayar biaya sekolahnya. Kang Roso pun berterus terang untuk bisa dibebaskan dari pugutan SPP bulanan dan biaya lainnya selama sekolah di MAN 1 Bojonegoro.

Alhasil, Kepala Madrasah Aliyah Negeri Bojonegoro mengabulkan permohonan Kang Roso. Bahkan kepala MAN sat itu juga menawari kang Roso untuk tinggal di rumahnya. Hal itu dimksudkan agar Kang Roso tidak lagi memikirkan biaya indekost dan biaya makan.

Namun tawaran itu tidak bisa diterima, dikarenakan kang Roso sudah membulatkan tekadnya untuk bisa mengikuti pendidikan agama di Pondok Pesantren.

Sukses memperoleh jaminan pendidikan gratis di MAN 1 Bojonegoro. Selanjutnya Kang Roso melanjutkan langkah kakinya ke Pondok Pesantren AL FALLAH yang berada di Desa Pacul, yang kebetulan lokasinya berdekatan dengan gedung MAN Bojonegoro.

Kepada sang pengasuh Pondok Pesantren Al Fallah pun Kang Roso menyatakan niatnya untuk bisa diberi kesempatan mengikuti proses belajar mengajar ilmu keagamaan Islam di Pondok yang diasuh oleh Kiai Masyhudi Hasan.

Namun lagi-lagi Kang Roso juga berterus terang bahwa ia tidak mempunyai biaya untuk membayar uang pemondokan dan pendidikannya. Tapi untuk mengganti bayaran itu Kang Roso bersedia melakukan pekerjaan apa saja yang diperintahkan pengurus Pondok Pesantren Al Fallah.

Alhamdhulillah, akhirnya dengan kebjiksanaan sang pengasuh Pondok, Kang Roso diterima menjadi santri Pondok Pesantren Al Fallah Desa Pacul, Bojonegoro.

Di Pondok Pesatren menurut Kang Roso, setiap hari ia bangun jam 2 malam karena harus mulai menyiapkan masak nasi untuk keperluan makan ratusan santri yang tinggal di Pondok. Menyapu membersihkan ruangan dan pekarangan Pondok. Sepulang sekolah, ia lanjutkan pekerjaan dengan mencari rencek ( kayu bakar ) untuk persiapan bahan bakar memasak.

Setiap hari selama tiga tahun, kehidupan Kang Roso benar-benar bisa dianggap sangat melelahkan. Tapi karena tekad yang besar untuk merubah kondisi kemiskinan keluarganya, kang Roso menjalaninya dengan sabar, tekun dan penuh tanggung jawab. Kang Roso menjalani semuanya dengan satu niat bahwa apa yang dilakukannya adalah semata-mata karena ibadah, karena Allah.

Begitu lulus dari MAN Bojonegoro, pada 1998, Kang Roso lagi-lagi nekat pergi meninggalkan Bojonegoro. Kali ini tak hanya rumahnya tapi juga kakek dan neneknya yang selama ini menjadi satu-satunya keluarga yang dimilikinya. Meski berat hati, tapi harus dilakukan demi perbaikan nasib, demi mendobrak kemiskinan yang selama membelenggu keluarganya.

Saat itu saya pergi mencari ibu saya di Papua, karena selama bekerja dan tinggal di Papua ibu tidak pernah pulang ke Bojonegoro, jadi praktis saya tidak pernah bertemu dengan ibu saya. Alhamdhulillah, meski hanya berbekal alamat surat yang dikirim ibu, saya berhasil bertemu dengan ibu.

Di Papua kang Roso menjalani pekerjaan pertamanya sebagai kuli bangunan. Selain itu iapun juga kembali melanjutkan pendidikan S1-nya di STAIN Al Fatah, Jayapura  dan menyelesaikan jenjang pendidikan Pasca sarjananya di Universitas Cendrawasih, Jayapura pada 2011.

Selama 16 tahun tinggal di Papua telah memberikan pengalaman bathin dan pengalaman kerja yang cukup menjadikan Kang Roso matang menapaki lika-liku kehidupan.

Sebagai santri dan warga Nahdlatul Ulama yang aktif dalam pergerakan organisasi Pemuda dan Mahasiswa, Kang Roso pernah menjadi Ketua Remaja Masjid pada 2003 – 2005, Ketua Umum PC PMII Kota Jayapura, pada 2004 – 2005 dan Ketua Umum PKC PMII Provinsi Papua dan Papua Barat. Ketua Senat Mahasiswa STAIN AL Fatah Jayapura, pada 2004 – 2005 juga Ketua KOPMA STAIN Al Fatah Jayapura, pada 2004 – 2005.

Ia pun turut terlibat aktif dalam banyak kegiatan penanganan konflik perselisihan antar umat beragama di Papua, hingga memelopori pendirian masjid besar di Papua.

Kini setelah kang Roso merasa apa yang diperjuangkan telah dicapainya dengan sukses. Kang Roso menyatakan keinginannya untuk kembali ke tanah kelahirannya, Bojonegoro.

Namun kembalinya Kang Roso ke Bojonegoro, bukan untuk berbisnis tetapi ingin bersama-sama rakyat Bojonegoro bangkit mewujudkan pembangunan di Bojonegoro secara menyeluruh, terutama infrastruktur pedesaan, pertanian. Dan sekaligus mewujudkan kondisi ekonomi masyarakat yang sejahtera tanpa kemiskinan.

Niat itu tentunya akan diwujudkan kang Roso melalui Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Bojonegoro 2018 mendatang.

“ Hanya dengan niat yang tulus dari lubuk hati paling dalam, saya berniat membangun Bojonegoro bersama-sama dengan rakyat. Tanpa pamrih apa-apa, yang ada hanya bekerja dengan niat ibadah,”.

Redaksi