BOJONEGORO.Netpitu.com – Memiliki tambang minyak dan gas bumi tak selamanya membuat masyarakat yang tinggal dan hidup di lingkhngan sekitar tambang hidup sejahtera.
Bahkan sebaliknya, bagi sebagiam warga yang memiliki banyak keterbatasan akan menjadi semakin susah bertahan hidup. Lantaran kebiasaan dalam mempertahankan hidupnya telah dipagari bahkan dirampas oleh hak pemilik tambang.
Salah satu contohnya, Mbah Lasmi (73), warga Dukuh Sraun RT 07 RW 03 Desa Wadang, Kecamatan Ngasem, Kabupaten Bojonegoro, Jawa timur.
Perempuan tua yang menyandang kebutaan pada penglihatan matanya ini harus menjalani hidup sehari-hari di rumah tidak layak huni yang hanya berujuran 3 meter x 6 meter bersama anak ( Ngasimah) dan cucunya ( Darkun) serta kambing piaraannya yang kini telah mempunyai dua anak (cempe, red).
Rumah berdinding sesek ( bilah bambu,red ) itupun sudah terlihat koyak dan reot karena usia, sehingga terlihat lobang besar disana-sini. Lantai rumah masih sesuai aslinya yang tidak terbuat dari apa-apa. Karena lantai rumah yang berasa dingin di telapak kaki telanjang ini memang masih tanah murni.
Baca : Tragis, Mbah Lasmi dan Keluarganya Tinggal di Kandang Kambing
Sebagiam masyarakat menyebut rumah mbah Lasmi bukanlah rumah karena penampakannya sama persis seperti Kandang kambing di rumah-rumah penduduk Desa. Dan secara kebetulan mbah Lasmi sendiri punya kambing yang dipeliharanya dan tidur sekandang dengan mbah Lasmi.
Lantas siapa harus disalahkan atas nasib dan kemiskinan yang dialami mbah Lasmi ini. Pemerintah, perusahaan pengelola tambang migas, mbah Lasmi dan keluarganya atau gusti Allah sang maha pencipta.
Tragisnya lagi, mbah Lasmi, Ngasimah, dan Darkun, tidak memiliki pekerjaan untuk menopang sumber ekonomi untuk hidup sehari – hari. Kalaupun ada, mbah Lasmi hanya bisa ngasak atau mengambil sisa-sisa gabah hasil panen di sawah petani.
Jika dilihat dari usia anak mbah Lasmi, Ngasimah yang berumur 53 tahun, tentunya masih bisa bekerja mencari nafkah. Demikian pula dengan cucu mbah Lasmi yang bernama Darkun, yang saat ini barusia 33 tahun, harusnya bisa menjadi tulang punggung keluarga. Masih muda, sehat dan produktif tentunya.
Namun faktanya, kenapa anak dan cucu mbah Lasmi tidak bekerja dan menjadi penganggur dan menjadi beban bagi perempuan tua renta yang sudah tak berdaya.
Lantas, bagaimana dengan peran RT, RW, Kepala Dusu, dan Kepala Desa Wadang, sebagai pemangku pemerintahan di Desa?.
Bukankah banyak program pemerintah pusat yang telah diberikan dan disalurkan kepada masyarakat tidak mampu. Mulai dari Program Keluarga Harapan (PKH), Rastra, Bedah rumah, dan berbagai program pengentasan kemiskinan lain yang bertujuan untuk menjadikan warga miskin lebih berdaya.
Selain itu, tidakkah ada CSR dari pengelola tambang Migas di Bojinegoro ini yang bisa digunakan untuk membantu masyarakat miskin seperti mbah Lasmi.
Apakah penyelenggara program ini tidak melihat keberadaan dan kemiskinan mbah Lasmi.
Hm…..!, jangan pandang persoalan mbah Lasmi sebelah mata. Karena masih banyak mbah Lasmi- mbah Lasmi lain di Kabupaten Bojonegoro.
Apa kata dunia, hidup ditengah kekayaan hasil bumi Migas, tapi melarat juga.
Kedatangan Kaolsek Ngasem, AKP. Barutu dan anggotanya semiga menjadi awal yang baik bagi terbukanya hati para pemimpin rakyat dan wakil rakyat Bojonegoro yang selama ini telah banyak menikmati kekayaan Bojinegoro dengan menggunakan atas nama rakyat. Untuk lebih mau berpikir dan berbuat untuk kesejahteraan rakyat. Bukan sebaliknya, menyengsarakannya (rakyat).
(ulv)