BOJONEGORO. Netpitu.com – Bulan Suro merupakan bulan hening, dimana segala nafsu angkara ditundukkan dan menjauhi perbuatan buruk dan jahat. Dengan tirakat dan mendekatkan diri dengan Gusti Alkah kang maha agung, sang khaliq dan pemilik jagad raya.
Karena para penjaga bumi ini tengah manembah dan “nglakoni topo broto”, bumi kosong tanpa penjaga. Saat itulah dimingkinkan serangan makhluk ghaib dan roh- roh jahat bergentayangan mengganggu manusia yang kurang iman, dan berusaha merusak keseimbangan dan keharmonisan tata kehidupan di alam mayapada.
Paruwatan agung adalah salah satu cara atau ritual yang ditujukan untuk menghalau segala macam bencana, baik itu dalam bentuk penyakit, bencana alam, dan bencana kerusakan lainnya.
Peruwatan juga dimaksudkan untuk merawat, memperbaiki diri, serta pengakuan atas kesalahan-kesalahan manusia yang dilakukan terhadap alam semesta. Serta memohon ampunan dan kesalamatan seraya berpasrah diri terhadap gusti Allah kang murbeng dumadi.
Seperti prosesi ritual yang digelar malam ini, Kamis, (27/9), di Desa Sambongrejo, Kecamatan Bojonegoro, oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Bojonegoro.
Bupati Bojonegoro DR. Hj. Ana Mu’awanah yang hadir pada paruwatan agung grebeg Suro pun turut tandang menghalau bencana yang mengancam alam dan isinya.
Dengan memegang alu (penumbuk,red) Anna Muawanah yang baru dilantik menjadi bupati Bojonegoro, 24 September 2018 lalu itu dengan keras menumbukan alu yang dipegangnya ke lumpang, hingga menimbulkan suara berisik menggaung, tong, tong, tong…..
Acara yang selama 2 tahun telah menjadi agenda rutin Dinas Pariwisata tersebut adalah kegiatan yang setiap tahun dilakukan didesa sambongrejo sebagai kepanjangan tangan dari keraton Surokarto Hadiningrat, sehingga Desa Sambongrejo dianggap sebagai “Rekso Budoyo” atau pelestari budaya. Hal ini dibuktikan juga hadir dalam acara itu perwakilan dari Keraton Surokarto Hadiningat yakni Raden tumenggung Samsu Dini.
Menurut bupati Ana Mu’awanah, kegiatan ini mempunyai 4 (empat) makna dalam kehidupan ini, yang pertama bahwa kegiatan ini adalah bentuk rasa syukur kita kepada Allah SWT.
Kedua memberikan makna bentuk kegotong-royongan masyarakat desa Sambongrejo.
Ketiga adalah sebagai bentuk kerukunan, tepo sliro tidak batas antara pejabat dengan rakyat karena kita berbaur, dan yang terahkir adalah merupakan kearifan lokal (local wisdom) sebagai budaya yang perlu dilestarikan.
Ruwatan atau grebeg Suro ini diawali dengan arakan-arakan gunungan dan tumpeng buah-buahan, sayuran-sayuran dan makanan-makanan yang merupakan hasil dari desa sambongrejo sejauh 1 Km.
Perjalanan prosesi arak-arakan gunungan tumpeng diawali dari batas Desa Sambonrejo ke lapangan Desa. Kemudian arakan gunungan tumpeng dan tumpeng tersebut dibawa kelapangan utk diperebutkan oleh masyarakat.
Kegiatan prosesi ruwaran grebeg Suro kemudian diakhiri dengan pagelaran wayang kulit.
(dan)