Oleh : Arieyoko
Jaman yang telah demikian melesat dengan segala kecepatan teknologi, membiaskan banyak hal baru. Sekaligus, mendampakkan persoalan-persoalan baru pula.
Pada kondisi demokrasi yang musti dijunjung serta dihormati oleh seluruh elemen, adalah menjadi kewajiban bersama untuk menjaga, melakukan, sekaligus menerapkan hak-hak masyarakat sipil. Dalam konteks berbangsa dan bernegara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tak terkecuali dalam ranah profesionalitas masyarakat Pers. Yang sejak awal memang ditempatkan posisinya sebagai pilar ke IV dalam demokrasi. Setelah rumusan Trias Politica perihal, eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Makna yang tersurat (dan tersirat) adalah menjadi kesatupemahaman secara bersama. Atawa jika dilugaskan dalam bentuk verbal. Maka, ke empat elemen tersebut baiknya memiliki pemahaman yang setara dan sepadan.
Pada tingkat jurnalisme, agar kian mampu mencanggihkan kinerjanya menjadi lebih profesional. Suka tak suka, senang tak senang, musti berpegang teguh pada Undang-Undang Pokok Pers No. 40 Tahun 1999.
Demikian halnya dalam implementasi pelaksanaannya, saat melakukan kerja dan tugas-tugas jurnalistik. Pedoman sepenuhnya, telah ada dan termaktub dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
Demikian halnya untuk membedakan perihal berita hoax (bohong) atawa berita nyata, KEJ menjadi pedoman sahihnya. Sehingga dengan gampang dapat dipilah, dipilih, dibedakan, antara ke duanya.
Dalam buku panduan menjadi seorang wartawan, dikenal istilah cover both side. Ini sebagai salah satu perwujudtan penting dalam melaksanakan secara penuh fungsi dari KEJ itu.
Sebagaimana ditegaskan pada KEJ Pasal 3), bahwa : “Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini serta menerapkan azas praduga tidak bersalah.”
Maka, cover both side dalam kerangka reportase para jurnalis, menjadi sebuah prinsip yang berhubungan dengan perlakuan adil terhadap semua pihak. Baik yang menjadi objek berita/informasi, maupun masyarakat luas sebagai penerima informasi.
Sehingga ke dua belah pihak yang terlibat dalam sebuah peristiwa informasi, masing-masing memiliki hak yang seimbang. Atawa dalam bahasa lugasnya, merupakan hak jawab sepenuhnya bagi nara sumber.
Jika kaidah tersebut telah dimiliki dan dilakukan oleh seorang jurnalis, maka sangat sulit untuk disebutkan bahwa berita yang dituliskan, dimuat, diturunkan, dipubliskan adalah sebuah kabar bohong (hoax).
Mengapa tak bisa dikategorikan sebagai hoax. Lantaran aturan hukum serta konsep cover both side nya telah ditunaikan secara professional. Hak jawab nara sumbernya telah diberikan.
Memang kemudian terjadi bias simalakama jika nara sumber melakukan pengingkaran atas hak jawab yang telah diberikan –lantaran pelbagai sebab dan alasan. Apakah kemudian menjadi melunturkan semangat menulis? Ooo tentu saja tidak.
Seorang wartawan tak boleh gentar jika menemui hal semacam itu. Semangat serta enerji menulis kebenaran tak boleh surut dan terpatahkan. Data kebenaran tetap menjadi sebuah kebenaran.
Hal penting yang layak dimiliki dalam menjalankan tugas. seorang wartawan adalah memperoleh/menggali data. Kemudian hunting di lapangan untuk melaksanakan kaidah cover both side menemui pihak terkait untuk hak jawab. Baru kemudian menuliskannya menjadi sebuah berita yang berimbang.
*Arieyoko
- Ketua PWI Perwakilan Bojonegoro, Tuban, Lamongan Tahun 1990 – 1994.
- mantan wartawan Republika, Jakarta.